Selasa, 30 Maret 2010

LAYANAN-AQIQAH.blogspot.com

Sebagai salah satu penyedia Layanan Aqiqah Terbaik dan Termurah, Layanan Aqiqah sangat komitmen untuk terus selalu menjaga kepercayaan dan sikap profesional kepada para konsumen. Tepat waktu, rasa masakan yang nikmat, kambing & sapi yang sehat adalah bagian dari komitmen yang akan terus kami jaga untuk melayani acara aqiqah anda.
Berikut harga layanan aqiqah kami yang terbaru, berikut keuntungan yang akan anda peroleh bila memakai layanan aqiqah dari Layanan Aqiqah :
1. GRATIS antar se-Jabotabek
2. GRATIS potong dan bungkusin
3. GRATIS Risalah Aqiqah 50 eksemplar/ekor
4. Kambing potong sehat, baik/sesuai syariah
5. Menu sesuai keinginan anda (sate, gule. sop, tongseng)
6. Siap menyalurkan ke Panti Asuhan dan Yayasan atau Masjid yang membutuhkan
7. Pembayaran setelah barang sampai / transfer

Anda Ingin Memesan Atau Ingin Bertanya-tanya Seputar Layanan Kami

Segera Hubungi

Abu Muhammad Denny - (021) 9565 7099 / 0857 1597 8871

Senin, 29 Maret 2010

Aqiqah

Aqiqah berasal dari kata ‘Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir.

Adapun maknanya secara syari’at adalah hewan yang disembelih untuk menebus bayi yang dilahirkan. Menurut bahasa, aqiqah artinya memutus / memotong. Sedangkan menurut istilah syar`I, aqiqah berarti menyembelih kambing untuk anak yang baru dilahirkan, pada hari ke – 7 ( tujuh ) dari hari kelahirannya. Rasulullah SAW bersabda : “Setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelih ( binatang ) pada hari ke – 7 ( tujuh ) dari kelahirannya, diberi nama, dan dicukur kepalanya “ ( HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dari Samirah )

Hukumnya

Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan praktek langsung beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam. “Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus)darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur rambutnya).” (HR Ahmad,Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)

Perkataannya, “maka tumpahkan (penebus)darinya darah (sembelihan),” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan bagi anaknya, maka silahkan lakukan.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).Perkataan beliau, “ingin menyembelihkan,” merupakan dalil yang memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.

Mengapa kita harus aqeqah ?

Aqiqah adalah salah satu ajaran Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW. Aqiqah mengandung hikmah dan manfaat positif yang kita bisa petik di dalamnya. Oleh karena itu. Kita sebagai umat Islam sudah selayaknya melaksanakan setiap ajaran Rasulullah SAW tanpa terkecuali, termasuk aqiqah ini. Setiap orang tua mendambakan anak yang shaleh, berbakti dan mengalirkan kebahagiaan kepada kedua orangnya. Aqiqah adalah salah satu acara penting untuk menanamkan nilai-nilai ruhaniah kepada anak yang masih suci.

Dengan Aqiqah diharapkan sang banyi memperoleh kekuatan, kesehatan lahir dan batin. Ditumbuhkan dan dikembangkan lahir dan batinnya dengan nilai-nilai Ilahiyah. Dengan Aqiqah diharapkan sang bayi kelak menjadi anak yang shaleh dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Jika acara ini dilaksanakan dengan tulus-ikhlash dan dijiwai nilai-nilai ruhaninya oleh kedua orang tuanya, tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan sang bayi, khususnya jiwa dan ruhaninya.Aqiqah adalah salah satu acara ritual di dalam Islam, yang dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran seorang bayi. Aqiqah hukumnya sunnah muakkad (mendekati wajib), bahkan sebagian ulama menyatakan wajib.

Pentingnya ber-aqiqah

Apabila kita memiliki barang yang bisa mendatangkan manfaat dan bangga memilikinya, namun barang tersebut dalam keadaan tergadai, bagaimana sikap kita terhadap barang tersebut ?. Tentunya kita berusaha semaksimal mungkin untuk menebusnya.

Aqiqah adalah upaya kita untuk menebus anak kita yang tergadai. Aqiqah juga merupakan realisasi rasa syukur kita atas anugrah, sekaligus amanah yang diberikan Allah SWT terhadap kita. Aqiqah juga sebagai upaya kita menghidupkan sunnah Rasulullah SAW, yang merupakan perbuatan yang terpuji, mengingat saat ini sunnah tersebut mulai jarang dilaksanakan oleh kaum muslimin. Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa menghidupkan sunnahku disaat kerusakan pada umatku, maka baginya pahala orang yang mati syahid. “ ( Al – Hadist ) Selain itu, banyak juga manfaat yang lain, seperti : mempererat tali silaturrahmi dan ikatan sosial dengan para kerabat, tetangga, fakir miskin, dll. Oleh karena itu, marilah kita bersama – sama berusaha menghidupkan

MAKNA AQIQAH

Makna Aqiqah
Aqiqah adalah sembelihan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran seorang bayi. Jumhurul ulama menyatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkad baik bagi bayi laki-laki maupun bayi perempuan. Pelaksanaannya dapat dilakukan pada hari ke tujuh (ini yang lebih utama menurut para ulama), keempat belas, dua puluh satu atau pada hari-hari yang lainnya yang memungkinkan.

Rasulullah SAW bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama”. (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)

Yang lebih utama adalah menyembelih dua ekor kambing yang berdekatan umurnya bagi bayi laki-laki dan seekor kambing bagi bayi perempuan. Dari Ummi Kurz Al-Ka’biyyah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang berdekatan umurnya dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.” (HR. Ahmad 6/422 dan At-Tirmidzi 1516)

Dalam pelaksanaan aqiqah sebaiknya dilakukan sendiri oleh orang tua bayi. Kalau toh ingin menitipkannya kepada orang lain, kita harus yakin bahwa hal tersebut dilakukan sesuai dengan tuntutan syari’ah. Jangan sampai kita menitipkan sejumlah uang kepada suatu lembaga atau perorangan, kemudian uang tersebut dibagikan langsung sebagai pengganti daging. Praktek yang demikian tentunya tidak sesuai dengan tuntunan sunnah yang mensyaratkan adanya penyembelihan hewan dalam pelaksanaan aqiqah.

Mencukur Rambut

Mencukur rambut bayi merupakan sunah Mu’akkad, baik untuk bayi laki-laki maupun bayi perempuan yang pelaksanaannya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran dan alangkah lebih baik jika dilaksanakan berbarengan dengan aqiqah.

Hal tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Rasulullah SAW bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan) Dalam riwayat yang lain Rasulullah SAW bersabda : “Hilangkan darinya kotoran” (HR. Al-Bazzar)

Ibnu sirin ketika mengomentari hadis tersebut berkata: “Jika yang dimaksud dengan kotoran tersebut adalah bukan mencukur rambut, aku tidak mengetahui apa maksudnya dengan hadis tersebut.” (fathul Bari)

Mengenai faedah dari mencukur rambut bayi tersebut, Ibnu Al-Qoyyim berkata: “Mencukur rambut adalah pelaksanaan perintah Rasulullah SAW untuk menghilangkan kotoran. Dengan hal tersebut kita membuang rambut yang jelek/lemah dengan rambut yang kuat dan lebih bermanfaat bagi kepala dan lebih meringankan untuk si bayi. Dan hal tersebut berguna untuk membuka lubang pori-pori yang ada di kepala supaya gelombang panas bisa keluar melaluinya dengan mudah dimana hal tersebut sangat bermanfaat untuk menguatkan indera penglihatan, penciuman dan pendengaran si bayi” (Athiflu Wa Ahkamuhu, hal 203-204)

Kemudian rambut yang telah dipotong tersebut ditimbang dan kita disunahkan untuk bersedekah dengan perak sesuai dengan berat timbangan rambut bayi tersebut. Ini sesuai dengan perintah Rasulullah SAW kepada puterinya fatimah RA : “Hai Fatimah, cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat timbangan rambutnya kepada fakir miskin” (HR Tirmidzi 1519 dan Al-Hakim 4/237)

Dalam pelaksanaan mencukur rambut, perlu diperhatikan larangan Rasulullah SAW untuk melakukan Al-Qaz’u, yaitu mecukur sebagian rambut dan membiarkan yang lainnya (HR. Bukhori Muslim).

Ada sejumlah gaya mencukur rambut yang termasuk Al-Qaz’u tersebut :

*
Mencukur rambut secara acak di sana-sini tak beraturan.
*
Mencukur rambut bagian tengahnya saja dan membiarkan rambut di sisi kepalanya.
*
Mencukur rambut bagian sisi kepala dan membiarkan bagian tengahnya
*
Mencukur rambut bagian depan dan membiarkan bagian belakan atau sebaliknya.

Pemberian Nama

Nama bagi seseorang sangatlah penting. Ia bukan hanya merupakan identitas pribadi dirinya di dalam sebuah masyarakat, namun juga merupakan cerminan dari karakter seseorang. Rasululloh SAW menegaskan bahwa suatu nama (al-ism) sangatlah identik dengan orang yang diberinama (al-musamma) Dari Abu Hurairoh Ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Kemudian Aslam semoga Alloh menyelamatkannya dan Ghifar semoga Alloh mengampuninya.” (HR. Bukhori 3323, 3324 dan Muslim 617)

Ibnu Al-Qoyyim berkata: Barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya.

Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama-nama terhadap yang diberi nama (Al-musamma) maka perhatikanlah hadis di bawah ini: Dari Said bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya Ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW, beliau pun bertanya: “Siapa namamu?” Aku jawab: “Hazin” Nabi berkata: “Namamu Sahl” Hazn berkata: “Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku” Ibnu Al-Musayyib berkata: “Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya” (HR. Bukhori 5836) (At-Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al-�Isawiy hal 65)

Oleh karena itu, Rasululloh SAW memberikan petunjuk nama apa saja yang sebaiknya diberikan kepada anak-anak kita. Antara lain: Dari Ibnu Umar Ra ia berkata: Rasululloh SAW telah bersabda: “Sesungguhnya nama yang paling disukai oleh Alloh adalah Abdulloh dan Abdurrahman.” (HR. Muslim 2132) Dari Jabir Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “Namailah dengan namaku dan jangnlah engkau menggunakan kun-yahku.” (HR. Bukhori 2014 dan Muslim 2133)

Berkaitan dengan kapan saat yang tepat untuk pemberian nama bagi bari yang baru lahir, para ulama menyatakan hal tersebut sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh dari kelahiran berbarengan dengan pelaksanaan aqiqah dan pencukuran rambut. Namun juga pemberian nama tersebut boleh dilakukan sebelumnya. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap yang dilahirkan tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya dan dicukur rambutnya serta diberi nama” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)

Syukuran 40 Hari

Berkaitan dengan perayaan 40 hari setelah kelahiran jabang bayi, kami berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW sebagaimana di atas. Kalau memang ingin memperkenalkan bayi kepada para tetangga, kenapa hal tersebut tidak dilakukan berbarengan dengan pelaksanaan aqiqah?

Kami kira, adat atau kebiasaan perayaan tersebut merupakan warisan masa lalu yang masih banyak dipercayai dan dilaksanakan oleh masyarakat kita. Tentunya ini adalah tugas kita untuk menyampaikan yang sebenarnya kepada mereka berkaitan dengan tuntunan Rasulullah SAW dalam pelaksanaan aqiqah. Anda dapat menyampaikan kepada orang tua anda bahwa pelaksanaan aqiqah merupakan ungkapan syukur kita kepada Allah atas kelahiran bayi.

Disamping itu, dalam pelaksanaannya kita juga bisa mengundang para tetangga dalam syukuran aqiqahan ini atau membagi-bagukan daging aqiqah kepada mereka. Dengan sendirinya ini juga merupakan proses memperkenalkan jabang bayi yang baru lahir kepada tetangga. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,

RISALAH AQIQAH 2

RISALAH AQIQAH 2
Ucapan Selamat untuk Bayi yang Baru Lahir :

Baarokallohulaka fiil mauhuubilaka, wa syakartal waahiba, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu. Ucapan Selamat untuk Bayi yang Baru Lahir :

Baarokallohulaka fiil mauhuubilaka, wa syakartal waahiba, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu.

Semoga Alloh memberikan keberkahan untuk dirimu atas (karunia) yg diberikan kepadamu. Semoga engkau mensyukuri Yang Maha Memberi hingga sang anak menjadi dewasa dan menjadi anak yang berbakti.

Kemudian Dijawab :(atas orang yang mengucapkan doa di atas kepada kita):

Baarokallohulaka wa baaroka’alaika, wa jazaakallohu khoiron, wa rozaqokallohu mitslahu, wa ajzala tsawaabaka.Semoga Alloh memberikan berkahnya kepadamu dan dalam segala yang engkau miliki. Semoga Alloh membalas untukmu kebaikan yang banyak dan memberikan (karunia) tang sama kepadamu. Semoga Alloh pun berkenan melipat gandakan pahalamu.

Do’a Untuk Bayi yang Baru Dilahirkan

Innii u’iidzuka bikalimaatillaahit taammati min kulli syaythaanin wa haammatin wamin kulli ‘aynin laammatinArtinya: Aku berlindung untuk anak ini dengan kalimat Allah Yang Sempurna dari segala gangguan syaitan dan gangguan binatang serta gangguan sorotan mata yang dapat membawa akibat buruk bagi apa yang dilihatnya. (HR. Bukhari)

Menghidupkan Sunnah Nabi saw. dengan ‘Aqiqah

“Barang siapa yang menghidupkan sunnahku disaat terjadi kerusakan pada ummatku maka baginya pahala seseorang yang mati syahid.” (Rasulullah saw.)Hadits ini menyadarkan kita akan pentingnya kembali pada kehidupan Islami dan menghidupkan sunnah Nabi saw. terutama di saat ummat mulai cenderung dan terpedaya dengan segala gaya hidup yang tidak berasal dari nilai-nilai Islam. Hal tersebut mengakibatkan ummat Islam tidak lagi memiliki jati diri, dan kecintaannya kepada Nabi saw sebagai suri teladan larut sedikit demi sedikit, berganti mengikuti gerak dan gaya masyarakat yang jahiliyah, termasuk dalam menyambut kehadiran anak yang sebenarnya merupakan amanah Allah SWT. Tulisan ini sekedar mengingatkan akan sebuah sunnah yang dahulu akrab dengan kehidupan kaum muslimin sebagai ummat yang dirahmati dan diberkahi Allah SWT.

Beberapa Hal yang Harus Dilakukan oleh Orang tua Setelah Kelahiran Anaknya

*
1. Menyuarakan adzan di telinga kanan dan qomat di telinga kiri bayi. Hal ini berdasarkan atas sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dari Abu Rafi’: Aku melihat Rasulullah saw. Menyuarakan adzan pada telinga Al-Hasan bin ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya.
*
2. Melakukan tahniq, yaitu menggosok langit-langit (mulut bagian atas) dengan kurma yang sudah dilembutkan. Caranya ialah dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah pada jari, dan memasukkan jari itu ke dalam mulut bayi, kemudian menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan dengan gerakan yang lembut hingga merata di sekeliling langit-langit bayi. Jika kurma sulit di dapat, tahniq ini dapat dilakukan dengan bahan yang manis lainnya, seperti madu atau saripati gula, sebagai pelaksanaan sunnah Nabi saw. Di dalam Shahihain, terdapat hadits dari Abu Burdah, dari Abu Musa r.a., ia berkata: Aku telah dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Nabi saw. lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok-gosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendo’akannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kepadaku.Hikmah dari tahniq ini ialah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan gerakan lisan beserta tenggorokan dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menghisap air susu ibunya dengan kuat dan alami. Lebih utama kalau tahniq ini dilakukan oleh ulama/orang yang shalih sebagai penghormatan dan pengharapan agar si bayi menjadi orang yang shalih pula.
*
3. Mencukur rambut kepala bayi, memberi nama, dan Aqiqah.

Makna ‘Aqiqah

Secara bahasa ‘aqiqah berarti memutus. Sedangkan secara istilah Syara’ aqiqah berarti menyembelih kambing untuk anak pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya.

Pentingnya Aqiqah

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya anak itu diaqiqahi. Maka tumpahkanlah darah baginya dan jauhkanlah penyakit daripadanya (dengan mencukurnya).” (Hadits shahih riwayat Bukhari, dari Salman Bin Amar Adh-Dhabi).Rasulullah saw. bersabda: “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan (binatang) pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya, diberi nama pada hari itu dan dicukur kepalanya”. (Ashhabus-Sunan).‘Aqiqah adalah tanda syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat anak yang diberikan-Nya. Juga sebagai washilah (sarana) memohon kepada Allah SWT. agar menjaga dan memelihara sang bayi. Dari hadits di atas pula ulama menjelaskan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi para wali bayi yang mampu, bahkan tetap dianjurkan, sekalipun wali bayi dalam kondisi sulit.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aqiqah

*
1. Kambing yang akan di sembelih mencapai umur minimal satu tahun dan sehat tanpa cacat sebagaimana persyaratan untuk hewan qurban.
*
2. Jika bayi yang dilahirkan laki-laki, dianjurkan untuk menyembelih dua ekor kambing yang sepadan (sama besarnya), sedangkan bayi perempuan disembelihkan satu ekor kambing. Hal ini berdasar atas hadits dari Ummu Karaz al-Ka’biyah, Rasul saw. bersabda: “Bagi anak laki-laki (disembelihkan) dua ekor kambing dan bagi anak perempuan (disembelihkan) satu ekor. Dan tidak membahayakan kamu sekalian apakah (sembelihan itu) jantan atau betina” (H. R. Ahmad dan Tirmidzi). Hal di atas berlaku untuk orang yang dikaruniai rizqi yang cukup oleh Allah SWT. Sedangkan orang yang kemampuannya terbatas, diperbolehkan untuk meng’aqiqahi anak laki-laki maupun anak perempuan dengan satu ekor kambing. Hal ini berdasar atas hadits dari Ibnu ‘Abbas r.a.: “Bahwa Rasulullah saw. telah meng’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan satu ekor biri-biri.” (H.R. Abu Dawud), dan juga riwayat dari Imam Malik: “Abdullah bin Umar r.a. telah meng’aqiqahi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, satu kambing-satu kambing.”
*
3. Dianjurkan agar ‘aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari ‘Aisyah r.a.: Nabi saw. bersabda: “Sembelihlah atas namanya (anak yang dilahirkan), dan ucapkanlah, ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, bagi-Mu-lah dan kepada-Mu-lah ku persembahkan ‘aqiqah si Fulan ini.” Akan tetapi, jika orang yang menyembelih itu telah berniat, meskipun tidak menyebutkan nama anak itu, maka tujuannya sudah tercapai.
*
4. Adapun daging aqiqah tersebut selain dimakan oleh keluarga sendiri, juga disedekahkan dan dihadiahkan.
*
5. Disukai untuk memberi nama anak pada hari ketujuh dengan memilihkannya nama-nama yang baik, lalu mencukur rambutnya, kemudian bersedekah senilai harga emas atau perak yang setimbang dengan berat rambutnya. Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah saw. memerintahkan Fatimah dan bersabda : “Timbanglah rambut Husain dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat timbangan (rambut)nya dan berikanlah kaki kambing kepada kabilah (suku bangsa)”.

Waktu ‘Aqiqah

Di muka telah dikutipkan sebuah hadits yang menunjukkan bahwa waktu yang dianjurkan untuk melaksanakan ‘aqiqah adalah hari ketujuh. Hadits lain yang menguatkan hal itu antara lain adalah hadits Abdillah bin Wahb dari ‘Aisyah r.a.: Rasulullah saw. telah meng’aqiqahi Hasan dan Husain pada hari ketujuuh (dari kelahiran mereka), menamakan mereka dan memerintahkan untuk menjauhkan penyakit dari kepala (mencukur) mereka.

Akan tetapi, ada pendapat yang menunjukkan bahwa keterikatan dengan hari ketujuh itu bukanlah keharusan, melainkan suatu anjuran. Al-Maimuni berkata: Aku bertanya pada Abdullah: “Kapankah anak itu di’aqiqahi?”. Abdullah menjawab, “Adapun ‘Aisyah telah mengatakan bahwa ‘aqiqah itu dilakukan pada hari ketujuh, hari keempat belas, atau hari ke duapuluh satu.”Imam Malik berkata: Pada zhahirnya, keterikatan pada hari ketujuh itu adalah atas dasar anjuran. Andaikan (pada hari itu tidak dapat dilakukan), maka menyembelih pada hari keempat, kedelapan, atau kesepuluh atau sesudahnya, ‘aqiqah itu telah cukup.

Ringkasnya, jika orang tua mampu menyembelih ‘aqiqah pada hari ketujuh, maka hal itu lebih utama, sesuai dengan perbuatan Nabi saw. Namun jika hal itu menyulitkan, maka diperbolehkan untuk melakukannya pada hari ke berapa saja sebagaimana telah dikatakan Imam Malik. Wa-Llahu a’lam.Demikianlah tulisan ringkas yang dapat kami sampaikan, semoga anak-anak kita yang lahir kemudian di’aqiqahi mendapat rahmat, inayah, serta dilindungi Allah SWT. dari godaan syaitan yang terkutuk dan dimudahkan jalannya dalam menempuh Shiraathal Mustaqim. Aamiin.

Makna Sebuah Nama

“Apalah arti sebuah nama”, begitulah ungkapan dari Shakespeare yang begitu sering terdengar di masyarakat. Konsekuensinya nama hanyalah sebagai panggilan/identitas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sehingga seringkali dalam pemberian sebuah nama yang dicari adalah lebih karena keunikannya bukan makna yang terkandung di dalamnya. Namun bagi kami – dan sebagian besar orang Indonesia – nama bermakna doa atau cita-cita. Sehingga setiap panggilan terhadapnya merupakan doa baginya dan setiap mengingat namanya maka mengingatkan akan cita-cita kehadirannya ke dunia.

Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya kalian akan diseru pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, maka perbaguslah nama kalian”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).

Nabi Muhammad Saw pun pernah mengganti nama yang tidak bagus, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar ra: “Sesungguhnya putri Umar diberi nama ‘Ashiyah (yang berdosa), maka Rasulullah saw mengganti namanya dengan Jamilah (cantik).” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Risalah Aqiqah 1

Menghidupkan Sunnah Nabi SAW dengan ‘Aqiqah

“Barang siapa yang menghidupkan sunnahku di saat terjadi kerusakan pada ummatku maka baginya pahala seseorang yang mati syahid.” (Rasulullah SAW)

Hadits ini menyadarkan kita akan pentingnya kembali pada kehidupan Islami dan menghidupkan sunnah Nabi SAW terutama di saat ummat mulai cenderung dan terpedaya dengan segala gaya hidup yang tidak berasal dari nilai-nilai Islam. Hal tersebut mengakibatkan ummat Islam tidak lagi memiliki jati diri, dan kecintaannya kepada Nabi SAW sebagai suri teladan, termasuk dalam menyambut kehadiran anak yang sebenarnya merupakan amanah Allah SWT.

Tulisan ini sekedar mengingatkan kita akan sebuah sunnah yang dahulu akrab dengan kehidupan kaum muslimin sebagai ummat yang dirahmati dan diberkahi Allah SWT.

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh orang tua setelah kelahiran anaknya:

*
1. Dibacakan QS. Ali-Imran ayat 36 hadist riwayat bukhori muslim. Ini dianjurkan Abu Hurairah untuk benteng terhadap godaan setan. Wallahu a'lam.
*
2. Melakukan tahniq, yaitu menggosok langit-langit (mulut bagian atas) dengan kurma yang sudah dilembutkan. Caranya ialah dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah pada jari, dan memasukkan jari itu ke dalam mulut bayi, kemudian menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan dengan gerakan yang lembut hingga merata di sekeliling langit-langit bayi.Jika kurma sulit di dapat, tahniq ini dapat ddilakukan dengan bahan yang manis lainnya, seperti madu atau saripati gula, sebagai pelaksanaan sunnah Nabi saw. Di dalam Shahihain, terdapat hadits dari Abu Burdah, dari Abu Musa r.a., ia berkata: “Aku telah dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Nabi saw. lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok-gosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendo’akannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kepadaku”. Hikmah dari tahniq ini ialah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan gerakan lisan beserta tenggorokan dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menghisap air susu ibunya dengan kuat dan alami. Lebih utama kalau tahniq ini dilakukan oleh ulama / orang yang shalih sebagai penghormatan dan pengharapan agar si bayi menjadi orang yang shalih pula.
*
3. Mencukur rambut kepala bayi, Memberi nama, dan Aqiqah.

Makna ‘Aqiqah

Secara bahasa ‘aqiqah berarti memutus. Sedangkan secara istilah Syara’ aqiqah berarti menyembelih kambing untuk anak pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya.

Pentingnya Aqiqah

Rasulullah saw. bersabda:“Sesungguhnya anak itu diaqiqahi. Maka tumpahkanlah darah baginya dan jauhkanlah penyakit daripadanya (dengan mencukurnya).” (Hadits shahih riwayat Bukhari, dari Salman Bin Amar Adh-Dhabi). Rasulullah saw. bersabda : “Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan (binatang) pada hari ke tujuh dari hari kelahirannya, diberi nama pada hari itu dan dicukur kepalanya”. (Ashhabus-Sunan)."

Aqiqah adalah tanda syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat anak yang diberikan-Nya. Juga sebagai washilah (sarana) memohon kepada Allah SWT. agar menjaga dan memelihara sang bayi. Dari hadits di atas pula ulama menjelaskan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi para wali bayi yang mampu, bahkan tetap dianjurkan, sekalipun wali bayi dalam kondisi sulit.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Aqiqah

*
1. Kambing yang akan di sembelih mencapai umur minimal satu tahun dan sehat tanpa cacat sebagaimana persyaratan untuk hewan qurban.
*
2. Jika bayi yang dilahirkan laki-laki, dianjurkan untuk menyembelih dua ekor kambing yang sepadan (sama besarnya), sedangkan bayi perempuan disembelihkan satu ekor kambing. Hal ini berdasar atas hadits dari Ummu Karaz al-Ka’biyah, Rasul saw. bersabda: “Bagi anak laki-laki (disembelihkan) dua ekor kambing dan bagi anak perempuan (disembelihkan) satu ekor. Dan tidak membahayakan kamu sekalian apakah (sembelihan itu) jantan atau betina” (H. R. Ahmad dan Tirmidzi). Hal di atas berlaku untuk orang yang dikaruniai rizqi yang cukup oleh Allah SWT.Sedangkan orang yang kemampuannya terbatas, diperbolehkan untuk meng’aqiqahianak laki-laki maupun anak perempuan dengan satu ekor kambing. Hal ini berdasar atas hadits dari Ibnu ‘Abbas r.a.: “Bahwa Rasulullah saw. telah meng’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan satu ekor biri-biri.” (H.R. Abu Dawud), dan juga riwayat dari Imam Malik: “Abdullah bin Umar r.a. telah meng’aqiqahi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, satu kambing-satu kambing.”
*
3. Dianjurkan agar ‘aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari ‘Aisyah r.a.: Nabi saw. bersabda: “Sembelihlah atas namanya (anak yang dilahirkan), dan ucapkanlah, ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, bagi-Mu-lah dan kepada-Mulah ku persembahkan ‘aqiqah si Fulan ini.” Akan tetapi, jika orang yang menyembelih itu telah berniat, meskipun tidak menyebutkan nama anak itu, maka tujuannya sudah tercapai.
*
4. Adapun daging aqiqah tersebut selain dimakan oleh keluarga sendiri, juga disedekahkan dan dihadiahkan.
*
5. Disukai untuk memberi nama anak pada hari ketujuh dengan memilihkannya nama-nama yang baik, lalu mencukur rambutnya, kemudian bersedekah senilai harga emas atau perak yang setimbang dengan berat rambutnya. Dari Ali r.a. berkata: Rasulullah saw. memerintahkan Fatimah dan bersabda : “Timbanglah rambut Husain dan bersedekahlah dengan perak sesuai dengan berat timbangan (rambut)nya dan berikanlah kaki kambing kepada kabilah (suku bangsa)”.
*
6. Demikianlah tulisan ringkas yang dapat kami sampaikan, semoga anak-anak kita yang lahir kemudian di’aqiqahi mendapat rahmat, inayah, serta dilindungi Allah SWT. dari godaan syaitan yang terkutuk dan dimudahkan jalannya dalam menempuh Shiraathal Mustaqim. Aamiin.

Kamis, 25 Maret 2010

APAKAH MAKRUH MENAMAKAN NASIKAH DENGAN AQIQAH?

APAKAH MAKRUH MENAMAKAN NASIKAH DENGAN AQIQAH? Oleh Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah Terjadi perbedaan pendapat tentang makna aqiqah secara bahasa, dalam hal ini ada tiga pendapat. Pendapat Pertama Pendapat Abu Ubaid dan Al-Ashma’i dan selain keduanya bahwa asal kata aqiqah adalah rambut yang berada di kepala bayi ketika dilahirkan. Kambing yang disembelih berkenaan dengan kelahiran anak dinamakan aqiqah karena rambut tersebut (yang ada pada bayi) dicukur ketika diadakan penyembelihan. Ini termasuk penamaan sesuatu dengan nama malabisnya, dan ini termasuk cara orang Arab dalam ucapannya (yakni diberikan istilah aqiqah bagi kambing yang disembelih itu dengan meminjam nama dari perkara lain –dalam hal ini istilah bagi rambut di kepala bayi ketika dilahirkan- yang punya kaitan dengannya,-pent) Pendapat Kedua. Aqiqah adalah penyembelihan itu sendiri. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad –semoga Allah merahmati beliau- dan beliau menyalahkan Abu Ubaid dan orang yang sependapat dengannya. Pendapat Ketiga Aqiqah meliputi dua pendapat di atas dan ini pendapatnya Al-Jauhari dalam Ash-Shihah. Kata Ibnul Qayyim : “Pendapat ini yang lebih utama (tepat) wallahu a’lam”. Terjadi pula perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum memutlakkan nama aqiqah. Dalam hal ini ada tiga pendapat. Pertama. Makruh berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bawha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aqiqah maka beliau bersabda : “Allah tidak menyukai ‘uquq (secara bahasa makna uquq adalah durhaka, -pent) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama itu-. Para sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kami hanyalah menanyakan kepadamu tentang apa yang harus dilakukan salah seorang dari kami (ketika) kelahiran anak”. Beliau bersabda. “Artinya : Siapa yang ingin bernasikah (menyembelih berkenaan dengan kelahiran) untuk anaknya maka hendaklah ia lakukan, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk wanita satu ekor”. Berdasarkan hadits diatas penyembelihan untuk kelahiran anak dinamakan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah. Kedua. Boleh, tidak makruh menamakannya dengan aqiqah. Mereka berdalil dengan hadits yang banyak di antaranya hadits Samurah. “Artinya : Anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya” Dan selain dari hadits-hadits yang shahih di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai lafadz tersebut. Ketiga Apa yang ditetapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Wadud hal. 54 setelah beliau menyebutkan perbedaan pendapat yang ada, beliau berkata : “Aku katakan : Yang sebanding dengan perselisihan ini adalah dalam nenamakan shalat Isya dengan Atamah. Dalam hal ini ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Penetapan terhadap dua permasalahan ini adalah makruhnya meninggalkan nama yang masyru (disyariatkan) seperti Isya dan Nasikah dan menggantinya dengan nama aqiqah dan ‘atamah. Adapun jika nama yang digunakan itu adalah nama yang syar’i dan nama tersebut tidak ditinggalkan, namun terkadang dipakai nama yang lain maka tidak jadi masalah. Berdasarkan hal ini bersesuaianlah hadits-hadits yang ada, dan Allah-lah yang memberi taufiq” [1] Kami katakan : Apa yang kita saksikan sekarang dari saudara-saudara kita,mereka justru meninggalkan nama syar’i –tentunya ini menjadi masalah- dan mereka memberikan nama (dengan nama) yang tidak syar’i, hingga bila anda menyebutkan dihadapan seseorang tentang kata nasikah niscaya ia akan meminta kepadamu penjelasan makna dari kata tersebut. Karena itu kami memberi peringatan pentingnya untuk kembali pada lafadz-lafadz syar’i yang telah diitnggalkan, agar beredar lafadz ini dari mulut ke mulut di tempat perkumpulan kita, hingga tersebarlah nama ini kita tidak mengganti lafadz syar’i dengan yang selainnya agar kita tidak terjatuh pada (perbuatan) sebagaimana firman Allah. “Artinya : Lalu orang-orang dzalim itu mengganti ucapan (perintah) dengan apa yang tidak diucapkan (diperintahkan) kepada mereka” [Al-Baqarah : 58] Berkata Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/588) setelah membawakan hadits (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang aqiqah) : “maksud yang diambil dari hadits ini adalah lebih utama menamakan (penyembelihan berkenaan dengan kelahiran anak) dengan nasikah atau dzabihah dan tidak dinamakan aqiqah” (selesai ucapan Al-Hafidz). Berkata Ibnu Abdil Barr : “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disukainya nama-nama yang mengandung makna yang jelek. Dan berdasarkan dhahir hadits ini wajib untuk menyebutkan sembelihan bagi anak yang lahir dengan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah. Akan tetapi aku tidak mengetahui ada seorang pun dari ulama yang condong kepada ucapan ini (seperti dhahir hadits) dan tidak ada yang berpendapat demikian. Aku mengira mereka meninggalkan hal tersebut karena adanya riwayat lain yang shahih di sisi mereka dari hadits-hadits yang menyebut lafadz aqiqah” Demikian dalam At-Tanwir. Berkata Az-Zarqani : “Mudah-mudahan yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdil Barr adalah mereka para mujtahid (dari kalangan orang-orang yang berijtihad), dan jika tidak maka (beliau keliru karena) sebenarnya telah berkata Ibnu Abid Dam dari teman-teman mereka yang bermadzhab Syafi’iyah bahwa sunnah menamakannya dengan nasikah atau dzabihah dan makruh menamakannya dengan aqiqah sebagaimana tidak disukainya menamakan shalat Isya dengan Atamah”. Dan Al-Bujairami berkata : “Yang lebih utama menamakannya dengan dzabihah dan nasikah karena pada lafadz aqiqah ada isy’ar uquq (durhaka). Maka menamakannya dengan aqiqah berarti menyelisihi nama yang lebih utama” [2] [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura] __________ Foote Note [1]. Dari kitab Mu’jam Al-manahi Al-Lafdhiyyah hal. 244 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid [2]. Awjazul Masalik ila Muwatha’ Imam Malik (9/209) oleh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi

Pertanyaan Seputar Nasikah (Aqiqah)

Jawaban Oleh Ustadz Abu Muawiyah
Tanya: 1. Bagaimana bentuk syukur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau dikaruniai seorang anak? 2. Bagaimanakah hukumnya ‘aqiqah, adakah kemudahan bagi orang yang tidak mampu? (Sedah Anuraga) Samarinda-Kaltim
Jawab :
1. Adapun cara bersyukur kepada Allah adalah dengan melakukan kewajiban-kewajiban syukur itu sendiri, yaitu: Meyakini dengan hati bahwa nikmat itu datangnya dari sisi Allah, memuji Allah dengan lisannya serta menyebut (menyandarkan) bahwa nikmat tersebut dari Allah, dan menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan. Di antara bentuk kesyukuran yang sepantasnya dilakukan oleh setiap orang tua secara umum adalah menyambut kelahiran anaknya dengan cara-cara yang sesuai dengan syari’at dan menghindari amalan-amalan yang bertentangan dengannya, seperti adzan dan iqomah di telinga bayi, mengubur ari-ari bayi dengan tata cara tertentu dan selainnya, mengadakan acara kemaksiatan (misalnya musik dan ikhtilath) di tengah acara nasikah, dan selainnya. Di antara cara bersyukur adalah dia memberikan nama-nama yang baik kepada anaknya serta mendidiknya dengan pendidikan Islami yang benar.
2. Sebelum kami menerangkan tentang hukum nasikah, maka terlebih dahulu kami menegaskan bahwa penamaan acara penyembelihan untuk bayi yang baru lahir dengan nama nasikah lebih utama daripada menamakannya dengan nama ‘aqiqah berdasarkan hadits ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ditanya tentang ‘aqiqah maka beliau bersabda :
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْعُقُوْقَ ، وَكَأَنَّهُ كَرِهَ الْاِسْمَ
“Allah tidak menyukai ‘uquq (asal kata ‘aqiqah) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama itu-” (HR. Abu Daud 2842 dan An-Nasa`i (2/188) dan dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Al-Irwa: 4/392)
Adapun hukum nasikah, ada dua pendapat di kalangan para ulama, ada yang mewajibkan dan ada yang menyatakan sunnah. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dengan dalil lanjutan hadits ‘Amr bin Syu’aib di atas, Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسَكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسَكْ عَنْهُ، عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Siapa yang ingin mengadakan nasikah untuk anaknya maka hendaklah ia lakukan, untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor”. Sisi pendalilannya adalah: Beliau shallallahu alaihi wasallam mengembalikan masalah nasikah kepada keinginan orang tua sang anak, apakah dia ingin melakukannya ataukah tidak. Seandainya hukumnya wajib, niscaya beliau tidak akan mengembalikannya kepada keinginan seseorang. Setelah kita mengetahui bahwa hukum dari nasikah ini adalah sunnah, maka tentunya ada keringanan bagi orang yang tidak mampu untuk tidak mengerjakannya, oleh karena itu kita tidak boleh mengatakan kepada seorang yang miskin: “Pergi dan cari pinjaman untuk acara nasikah”. Adapun bila anaknya lahir pada pertengahan bulan sedangkan dia belum mempunyai uang saat itu, akan tetapi dia akan menerima gajinya pada akhir bulan, maka apakah dia harus meminjam uang dan membayarnya pada akhir bulan atau dia menunggu sampai akhir bulan? Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (rahimahullah) menyatakan bahwa yang lebih baik adalah dia menunggu sampai akhir bulan lalu melaksanakan nasikah. (Lihat Syarhul Mumti’ : 7/536) diambil dari: Al-Atsariyah.com LayananAqiqah.Blogspot.com

Bolehnya Orang Lain Mengurusi Sembelihan Nasikah (Aqiqah)

Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur’ah Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah.
Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan tidak ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu. "Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya…” Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133): “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan nasikah tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang mengurusi dirinya” Kami katakan:Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk dalil yang terbesar atas kebolehan tersebut di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengaqiqahi kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain. [Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain, Penerbit Pustaka Al-Haura]

Syarat Kambing Aqiqah dan Kambing Qurban

Perbedaan Syarat Kambing Aqiqah dengan Kambing Qurban (Idul Adha)
Informasi ini mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan'ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha/Qurban (pada beberapa hari di bulan Dzulhijjah), meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat. Imam As-Shan'ani dalam kitabnya Subulus Salam (4/1428) berkata : "Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas." Imam Syaukhani dalam kitabnya Nailul Authar (6/220) berkata : "Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil." Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (7/523) berkata : "Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat."

Aqiqah Di Luar Daerah | LayananAqiqah.Blogspot.com

Apakah hewan aqiqah boleh disembelih di luar daerah/kota tempat si anak dilahirkan, karena di tempat kelahirannya tidak didapatkan orang-orang fakir yang membutuhkan daging, sementara di tempat lain ada orang-orang yang berhak mendapatkan sedekah? Ataukah tidak disyaratkan daging sembelihan aqiqah harus disedekahkan kepada fuqara? Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: “Tempat penyembelihan aqiqah tidaklah harus di tempat khusus, boleh disembelih di daerah/negeri kelahiran si anak, boleh pula di luar tanah kelahirannya. karena penyembelihan aqiqah ini merupakan amalan qurbah (pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala) dan ketaatan yang tidak dikhususkan tempatnya. Tentang hewan aqiqah yang telah disembelih, maka hukumnya sama dengan hukum sembelihan kurban (Idul Adha) yaitu disenangi bagi yang mengaqiqahi untuk ikut memakannya, menyedekahkan beberapa bagian dari sembelihan tersebut dan juga dihadiahkan kepada tetangga dan teman-temannya.” (Majmu‘ Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/572)

Rabu, 24 Maret 2010

Sunnah yang Terabaikan Bagi Seseorang yang Mau Berqurban

Penulis: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا Dari Ummu Salamah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada: ”Apabila telah masuk sepuluh (hari pertama bulan Dzulhijjah), salah seorang di antara kalian ingin berqurban, maka janganlah sedikit pun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu)nya dan mengupas kulitnya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 25269, Al-Imam Muslim no. 1977, Al-Imam An-Nasa`i, 7 hal. 212, Al-Imam Abu Dawud 3/2793, Al-Imam At-Tirmidzi 3/1523, Al-Imam Ibnu Majah 2/3149, Al-Imam Ad-Darimi no. 1866. (CD Program, Syarh An-Nawawi cet. Darul Hadits) Jalur Periwayatan Hadits Hadits tersebut diriwayatkan dari jalan Sa’id bin Musayyib dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Dalam riwayat hadits ini terdapat seorang rawi yang diperselisihkan penyebutan namanya, yaitu ‘Umar bin Muslim Al-Junda’i. Ada yang menyebutnya ‘Umar bin Muslim dan ada pula yang menyebutnya ‘Amr bin Muslim. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan, riwayat ‘Umar bin Muslim dari Sa’id bin Musayyab, pada nama عمر kebanyakan riwayat menyebutnya dengan mendhammah ‘ain (عُمر) ‘Umar, kecuali riwayat dari jalan Hasan bin ‘Ali Al-Hulwani, menyebutkan dengan memfathah ‘ain (عَمرو) ‘Amr. Dan ulama menyatakan bahwa keduanya ada penukilannya. (lihat Syarh Al-Imam An-Nawawi, 7/155) Sebaliknya, Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu menyatakan, telah terjadi perselisihan dalam penyebutan ‘Amr bin Muslim. Sebagian menyatakan ‘Umar dan kebanyakan menyatakan ‘Amr. Beliau sendiri menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa dia adalah ‘Amr bin Muslim bin Ukaimah Al-Laitsi Al-Junda’i. (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/224, cet. Darul Hadits) Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Telah terjadi perselisihan pendapat di kalangan manusia terhadap hadits ini, baik dari sisi riwayat maupun dirayah (kandungan maknanya). Sebagian berkata: Tidak benar kalau hadits ini kedudukannya marfu’ (sampai kepada nabi), yang benar ialah mauquf (hanya sampai kepada shahabat). Ad-Daruquthni rahimahullahu berkata dalam kitab Al-‘Ilal: Telah meriwayatkan secara mauquf Abdullah bin ‘Amir Al-Aslami, Yahya Al-Qathan, Abu Dhamrah, semuanya dari Abdurrahman bin Humaid, dari Sa’id. ‘Uqail meriwayatkan secara mauquf sebagai ucapan Sa’id. Yazid bin Abdillah dari Sa’id dari Ummu Salamah, sebagai ucapan Ummu Salamah. Demikian pula Ibnu Abi Dzi`b meriwayatkan dari jalan Al-Harts bin Abdurrahman, dari Abu Salamah, dari Ummu Salamah, sebagai ucapannya. Abdurrahman bin Harmalah, Qatadah, Shalih bin Hassan, semuanya meriwayatkan dari Sa’id, sebagai ucapannya. Riwayat yang kuat dari Al-Imam Malik, menyatakan mauquf. Dan Al-Imam Ad-Daruquthni berkata: “Yang benar menurut saya adalah pendapat yang menyatakan mauquf.” Pendapat kedua menyatakan yang benar adalah marfu’. Di antara yang menguatkan pendapat ini adalah Al-Imam Muslim ibn Hajjaj rahimahullahu, seperti yang beliau sebutkan dalam kitab Shahih-nya. Demikian pula Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Ibnu Hibban rahimahullahu juga meriwayatkan dalam Shahih-nya. Abu Bakr Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Hadits ini telah tetap/kuat sebagai hadits yang marfu’ ditinjau dari beberapa sisi. Di antaranya: Tidak mungkin orang yang seperti mereka (para ulama yang menshahihkan) salah. Al-Imam Muslim rahimahullahu telah menyebutkan dalam kitabnya. Selain mereka juga masih ada yang menshahihkannya. Telah meriwayatkan secara marfu’ Sufyan bin Uyainah dari Abdurahman bin Humaid dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi, dan Syu’bah dari Malik dari ‘Amr bin Muslim dari Sa’id dari Ummu Salamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidaklah kedudukan Sufyan dan Syu’bah di bawah mereka yang meriwayatkan secara mauquf. Tidaklah lafadz/ucapan hadits seperti ini merupakan ucapan dari para shahabat, bahkan terhitung sebagai bagian dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti sabda beliau (لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ) Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian dan yang semisalnya.” (lihat ‘Aunul Ma’bud, 5/225 cet. Darul Hadits, Mesir) Penjelasan Hadits (إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ) artinya, apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Makna ini dipahami dari riwayat lain yang menyebutkan: إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ ”Apabila kalian telah melihat hilal di bulan Dzulhijah.” atau: فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِي الْحِجَّةِ ”Apabila telah terlihat hilal bulan Dzulhijjah.” (وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ) artinya, salah seorang di antara kalian ingin berqurban. Pada sebagian riwayat terdapat tambahan lafadz (وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ), di sisinya (punya) hewan sembelihan. Pada lafadz yang lain (مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ), barangsiapa punya hewan sembelihan yang akan dia sembelih. (فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا) artinya, janganlah sedikitpun ia menyentuh (memotong) rambut (bulu) nya dan mengupas kulitnya. Pada riwayat yang lain terdapat lafadz (فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا), Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kuku. Pada lafadz yang lain: (فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ) Hendaknya ia menahan dari memotong rambut dan kukunya. Dalam lafadz yang lain: فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ Janganlah sekali-kali ia mengambil rambut dan memotong kukunya sedikitpun, hingga ia menyembelih. Sunnah yang Terabaikan Termasuk sunnah yang terabaikan bagi seorang yang telah memiliki hewan qurban yang akan ia sembelih adalah tidak ada pengetahuan tentang apa yang harus ia perbuat apabila telah masuk tanggal 1 hingga 10 Dzulhijjah (hari raya qurban tiba)! Tidak/belum sampainya suatu ilmu seringkali menjadi penyebab terabaikannya sekian banyak sunnah (kebaikan) baik berupa perintah atau larangan. Oleh sebab itu, sepantasnya bahkan wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun wanita untuk membekali kehidupan ini dengan ilmu agama yang benar, hingga tidak berujung penyesalan hidup di kemudian hari. Hadits yang tersebut di atas membimbing kita, terutama bagi seorang muslim yang telah mempersiapkan hewan qurban untuk disembelih pada hari raya qurban atau setelahnya pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzulhijjah). Apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, hendaknya ia menahan diri untuk tidak mencukur atau mencabut rambut/bulu apapun yang ada pada dirinya (baik rambut kepala, ketiak, tangan, kaki, dan yang lainnya). Demikian pula tidak boleh memotong kuku (tangan maupun kaki) serta tidak boleh mengupas kulit badannya (baik pada telapak tangan maupun kaki, ujung jari, tumit, atau yang lainnya). Larangan ini berlaku bagi yang memiliki hewan qurban dan akan berqurban, bukan bagi seluruh anggota keluarga seseorang yang akan berqurban. Larangan ini berakhir hingga seseorang telah menyembelih hewan qurbannya. Jika ia menyembelih pada hari yang kesepuluh Dzulhijjah (hari raya qurban), di hari itu boleh baginya mencukur rambut/memotong kuku. Jika ia menyembelih pada hari yang kesebelas, keduabelas, atau yang ketigabelas, maka di hari yang ia telah menyembelih hewan qurban itulah diperbolehkan baginya untuk mencukur rambut atau memotong kuku. Dalam sebuah riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim, ‘Amr bin Muslim pernah mendapati seseorang di kamar mandi sedang mencabuti bulu ketiaknya menggunakan kapur sebelum hari raya qurban. Sebagian mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya Sa’id bin Musayyib tidak menyukai perkara ini.” Ketika ‘Amr bin Muslim bertemu dengan Sa’id bin Musayyib, ia pun menceritakannya. Sa’id pun berkata: “Wahai anak saudaraku, hadits ini telah dilupakan dan ditinggalkan. Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepadaku, ia berkata: Nabi telah bersabda, seperti hadits di atas.” Kalau manusia di zaman beliau demikian keadaannya, bagaimana dengan di zaman kita sekarang?! Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang menghidupkan Sunnah Nabi-Nya dan bukan menjadikan sebagai orang yang memadamkan/mematikannya. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi larangan dalam perkara ini. Ada yang memahami sesuai dengan apa yang nampak dari lafadz hadits tersebut, sehingga mereka berpendapat haram bagi seseorang untuk melakukannya (wajib untuk meninggalkannya). Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Rabi’ah bin Abi Abdirrahman, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan sebagian dari pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i. Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya berpendapat makruh (tidak dikerjakan lebih utama), bukan diharamkam. Dan yang berpendapat semisal ini adalah Al-Imam Malik dan sebagian pengikut Al-Imam Ahmad seperti Abu Ya’la dan yang lainnya. Pendapat lain dalam hal ini adalah mubah (tidak mengapa melakukannya). Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan pengikutnya. Peringatan Sebagian orang ada yang memahami bahwa larangan mencukur rambut/bulu, memotong kuku, dan mengupas/mengambil kulit, kata ganti dalam hadits di atas (-nya - bulunya, kukunya, kulitnya) kembali kepada hewan yang akan disembelih. Jika demikian, hadits di atas akan bermakna: “Apabila telah masuk 10 hari awal Dzulhijjah, dan salah seorang di antara kalian akan berqurban, maka janganlah ia mencukur bulu (hewan yang akan dia sembelih), memotong kuku (hewan qurban), dan jangan mengupas kulit (hewan qurban).” Tentunya bukanlah demikian maknanya. Makna ini juga tidak selaras dengan hikmah yang terkandung di dalam hadits itu sendiri. Hikmah yang Terkandung Di samping sebagai salah satu bentuk ketaatan dan mengikuti apa yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hikmah dari larangan tersebut adalah agar seseorang tetap utuh anggota badannya kala ia akan dibebaskan dari panasnya api neraka. Sebagian ada yang berpendapat, hikmahnya adalah agar seorang merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji atau diserupakan dengan seorang yang telah berihram, sehingga mereka juga dilarang dari mencukur rambut, memotong kuku, mengupas kulit, dan sebagainya. Namun pendapat terakhir ini ada yang tidak menyetujuinya, dengan alasan, bagaimana diserupakan dengan seorang yang menunaikan haji, sementara ia (orang yang akan berqurban) tidak dilarang dari menggauli istrinya, memakai wewangian, mengenakan pakaian dan yang lainnya. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/224-226, cet. Darul Hadits, Syarh An-Nawawi 7/152-155, cet. Darul Hadits) Hadits-hadits Lemah dalam Berqurban 1. Kesempurnaan sembelihan عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُمِرْتُ بِيَوْمِ اْلأَضْحَى عِيْدًا جَعَلَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ. قَالَ الرَّجُلُ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَمْ أَجِدْ إِلاَّ أُضْحِيَّةً أُنْثَى أَفَأُضَحِّي بِهَا؟ قَالَ: لاَ، وَلَكِنْ تَأْخُذُ مِنْ شَعْرِكَ وَأَظْفَارِكَ وَتَقُصُّ شَارِبَكَ وَتَحْلِقُ عَانَتَكَ فَتِلْكَ تَمَامُ أُضْحِيَّتِكَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku diperintahkan pada hari Adha sebagai hari raya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menghadiahkannya untuk umat ini.” Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana pendapatmu (kabarkan kepada saya) jika aku tidak mendapatkan kecuali sembelihan hewan betina, apakah aku menyembelihnya?” Beliau menjawab: “Jangan. Akan tetapi ambillah dari rambut dan kukumu, cukur kumis serta bulu kemaluanmu. Itu semua sebagai kesempurnaan sembelihanmu di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2786) Al-Mundziri rahimahullahu menjelaskan: “Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasa`i. Sanad hadits ini lemah di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama ‘Isa bin Hilal Ash-Shadafi. Tidak ada yang menguatkan kecuali Ibnu Hibban.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mendhaifkannya dalam Dha’if Abi Dawud. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222) 2. Sembelihan dikhususkan untuk orang yang sudah meninggal عَنْ حَنَشٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ فَقُلْتُ لَهُ: مَا هَذَا؟ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي أَنْ أُضَحِّيَ عَنْهُ فَأَنَا أُضَحِّي عَنْهُ Dari Hanasy ia berkata: “Aku melihat ‘Ali bin Abi Thalib sedang menyembelih dua ekor domba. Kemudian aku bertanya: ‘Apa ini?’ Ali pun menjawab: ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepadaku agar aku menyembelih hewan qurban untuknya, dan akupun menyembelihkan untuknya.” (HR. Abu Dawud no. 2786, At-Tirmidzi no. 1495) Sanad hadits ini lemah, terdapat di dalamnya seorang rawi yang bernama Abul Hasna`, yang dia tidak dikenal. (lihat ‘Aunul Ma’bud 5/222) 3. Pahala bagi orang yang berqurban فِي اْلأُضْحِيَّةِ لِصَاحِبِهَا بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pada setiap hewan qurban, terdapat kebaikan di setiap rambut bagi pemiliknya.” (HR. At-Tirmidzi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Hadits ini maudhu’ (palsu).”) 4. Hewan qurban adalah tunggangan di atas shirath اسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ، فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ “Perbaguslah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.” Hadits ini lemah sekali (dha’if jiddan). Dalam sanadnya ada Yahya bin Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab Al-Madani, dia bukanlah rawi yang tsiqah, bahkan matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan oleh para ulama). Juga ayahnya, Ubaidullah bin Abdullah, adalah seorang yang majhul. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/14, no. hadits 527, dan 3/114, no. hadits 1255), Dha’iful Jami’ (no. 824). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 60 dan 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad) عَظِّمُوا ضَحَايَاكُمْ فِإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ “Gemukkanlah hewan qurban kalian, karena dia adalah tunggangan kalian di atas shirath.” Hadits dengan lafadz ini tidak ada asalnya. Ibnu Shalah rahimahullahu berkata: “Hadits ini tidak dikenal, tidak pula tsabit (benar datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 64, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad) 5. Darah sembelihan jatuh di tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala أَيُّهَا النَّاسُ، ضَحُّوْا وَاحْتَسِبُوْا بِدِمَائِهَا، فَإِنَّ الدَّمَ وَإِنْ وَقَعَ فِي اْلأَرْضِ فَإِنَّهُ يَقَعُ فِي حِرْزِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ “Wahai sekalian manusia, berqurbanlah dan harapkanlah pahala dari darahnya. Karena meskipun darahnya jatuh ke bumi namun sesungguhnya dia jatuh ke tempat penyimpanan Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath) Hadits ini maudhu’ (palsu). Dalam sanadnya ada ‘Amr bin Al-Hushain Al-’Uqaili, dia matrukul hadits, sebagaimana dinyatakan Al-Haitsami rahimahullahu. Lihat Adh-Dha’ifah karya Al-Albani rahimahullahu (2/16, no. hadits 530). (Ahkamul Udh-hiyyah hal. 62, karya Abu Sa’id Bal’id bin Ahmad) Wallahu ta’ala a’lam. (Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=579)

Keistimewaan Orang Bertauhid

Tauhid adalah inti agama para nabi dan rasul. Mereka mengajak kepada tauhid dan merealisasikannya pada diri mereka sendiri dan pengikutnya. Seorang yang mewujudkan tauhid dan merealisasikannya dalam keyakinan dan perbuatannya adalah orang yang mendapatkan kedudukan istimewa di sisi Allah Robbul alamin. Pembaca yang budiman, mungkin anda bertanya, "Bagaimana cara merealisasikan dan mewujudkan tauhid pada diri seseorang?!"Tentunya dengan membersihkan dan menyucikannya dari segala noda-noda syirik dan bid’ah, dan tidak terus-menerus melakukan maksiat. Barangsiapa yang demikian kondisinya, maka ia telah merealisasikan tauhid. [Lihat Qurroh Uyun Al-Muwahhidin (hal. 23) karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan Alusy Syaikh, cet. Dar Ash-Shumai'iy, 1420 H] Jadi, seorang yang bertauhid haruslah memberikan ibadahnya kepada Allah -Ta’ala- saja, bukan untuk selain-Nya. Jika ia berdo’a dan memohon, maka ia tak berdo’a dan memohon, kecuali kepada Allah. Jika ia mengharap dan takut, maka ia tak mengharap dan takut, kecuali kepada Allah. Dia tak akan takut atau mengharap kepada makhluk, walau makhluk itu memiliki kehebatan dan keistimewaan apapun. Dia tak akan takut kepada jin-jin, roh-roh, kuntilanak, gondoruwo, wewe gombel, setan, kuburan dan makhluk halus; atau apapun diantara makhluk yang ditakuti oleh sebagian orang-orang jahil. Bahkan ia hanya takut kepada Allah, Pencipta mereka sehingga mereka hanya mengharap karunia, dan rahmat-Nya. Selain itu , seorang yang ingin merealisasikan dan menyempurnakan tauhidnya, ia harus meninggalkan bid’ah (ajaran-ajaran yang tak ada contohnya dalam agama, walaupun dianggap baik oleh sebagian orang). Contoh bid’ah: perayaan tahun baru hijriyyah atau masehi, perayaan maulid Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, perayaan Isra’-Mi’raj, peringatan Nuzulul Qur’an, dan lainnya. Jadi, seorang harus meninggalkan bid’ah-bid’ah semacam ini, karena bid’ah akan membuat tauhid kita akan keruh dan ternodai. Orang yang melakukan bid’ah telah keluar dari tuntunan syari’at Allah -Ta’ala- yang telah Allah wahyukan kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-; pelaku bid’ah tidaklah taat kepada Allah secara murni. Andai ia meyakini Allah sebagai Robb dan ilah-nya (sembahannya), maka ia akan taat dan tak keluar dari tuntunan-Nya. [Lihat Al-Qoul As-Sadid Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 24) karya Syaikh Abdur Rahman Ibn Nashir As-Sa'diy, cet. Wuzaroh Asy-Syu'un Al-Islamiyyah, 1421 H] Realisasi tauhid akan semakin sempurna, jika seseorang menanggalkan dan menjauhi maksiat, seperti dusta, ingkar janji, pacaran, korupsi, zina, musik, minum khomer dan lainnya. Sebab ini adalah tanda bahwa hatinya memurnikan ketaatannya kepada Sang Pencipta dan Sembahannya, yakni Allah -Azza wa Jalla-[Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 34), karya Syaikh Sholih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, cet. Dar At-Tauhid, 1423 H] Perealisasian dan penerapan tauhid yang murni dan bersih dari syirik amatlah susah kita temukan di tengah kebanyakan manusia pada hari ini, kecuali orang yang diberi petunjuk untuk menapaki jalan para nabi dan rasul yang berlandaskan tauhid. Orang yang mengaku bertauhid banyak, tapi realita mengingkarinya. Pembaca yang budiman, kalau hati kalian penasaran, maka layangkan pandangan kalian kepada ayat dan hadits berikut, niscaya kalian akan memahami makna tauhid dan cara merealisasikannya. Allah -Ta’ala- berfirman, "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan HANIF. dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus". (QS. An-Nahl : 120-121). SyaikhMuhammad Ibn Sholih Al-Utsaimin-rahimahullah- berkata, "Orang yang HANIF adalah orang yang menghindar dari kesyirikan, menjauhi segala perkara yang menyelisihi ketaatan". [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/93), cet. Dar Ibn Al-Jauziy, 1421 H] Barangsiapa yang mau merealisasikan tauhid secara sempurna sehingga ia mendapatkan pujian dari Allah sebagaimana yang dialami Ibrahim -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, maka seorang harus memiliki 4 sifat yang ada pada Nabi Ibrahim : * Sifat Keteladanan dan Kepemimpinan * Sifat Selalu Patuh kepada Allah -Azza wa Jalla- * Sifat Hanif : menjauhi kesyirikan. * Sifat Syukur terhadap nikmat lahir dan batin. Inilah empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang yang ingin merealisasikan tauhidnya dengan sempurna. Keempat sifat ini tak akan terwujud kecuali jika dibarengi dengan ilmu dan konsekuensinya berupa keyakinan terhadap sesuatu yang kita ilmui, dan tunduk kepadanya. [Lihat Fathul Majid (hal. 75-76) karya Syaikh Abdur Rahman bin Hasan At-Tamimiy, cet. Dar Al-Fikr, 1412 H, dan Al-Qoul Al-Mufid (1/91) karya Al-Utsaimin] Al-Imam Abu Bakr Ibn Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata menjelaskan maksud Allah menyebutkan empat sifat itu, "Maksudnya, Allah -Subhanahu- memuji kekasih-Nya (yakni, Ibrahim) dengan empat sifat ini. Empat sifat ini kembali kepada ilmu, pengamalan konsekuensi ilmu tersebut, mengajarkannya, dan menyebarkannya. Jadi, semua kesempurnaan itu kembali kepada ilmu dan pengamalan konsekuensinya, serta mendakwahi makhluk menuju kepada ilmu itu". [Lihat Miftah Dar As-Sa'adah (1/174)] Jadi, seorang yang mau merealisasikan tauhid secara total dan murni, maka ia harus mengetahui dan mengilmui bahwa dirinya harus menjauhi kesyirikan. Oleh karena itu, Allah -Ta’ala- berfirman, "Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun)". (QS. Al-Mukminun : 59). Maksiat –menurut makna umumnya- adalah syirik, karena maksiat timbul dari hawa nafsu yang menyelisihi syari’at. Tak heran jika Allah berfirman, "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya". (QS. Al-Jatsiyah: 23). Syaikh Al-Utsaimin berkata saat menafsiri ayat 59 dari Surah Al-Mukminun, "Yang dimaksud dengan SYIRIK adalah syirik dalam artian yang lebih umum, sebab perealisasian tauhid tak akan terjadi, kecuali dengan jalan menjauhi syirik –menurut artiannya yang lebih umum-. Tapi bukanlah maksudnya, seseorang (yang merealisasikan tauhid) tak akan muncul darinya kemaksiatan, sebab setiap anak cucu Adam adalah orang-orang yang pernah bersalah, tak ma’shum. Namun jika mereka bermaksiat, maka mereka segera bertaubat, dan tidak terus-menerus di atas maksiat". [Lihat Al-Qoul Al-Mufid (1/96)] Seorang yang merealisasikan tauhid dengan hati dan raganya akan selalu menjauhi maksiat. Kalaupun ia terjatuh dalam maksiat, maka ia akan segera sadar dan siuman dari kelalaiannya seraya mengingat bahwa ia tak diciptakan untuk mendurhakai Allah, tapi ia diciptakan untuk taat kepada Allah -Azza wa Jalla-. Merekalah yang Allah singgung dalam firman-Nya, "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka ; dan tak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. Ali Imran : 135). Karena jauh dari kesyirikan, seorang yang merealisasikan tauhidnya dengan murni akan selalu tergantung hatinya kepada Allah, ia selalu bertawakkal kepada-Nya sehingga ia diberi keutamaan oleh Allah -Ta’ala- untuk masuk dalam golongan 70 ribu orang yang masuk surga tanpa hisab (perhitungan), dan siksaan. Inilah yang disebutkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits ini, عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ, فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ, وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِيْ سَوَادٌ عَظِيْمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِيْ, فَقِيْلَ لِيْ هَذَا مُوْسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ, وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ, فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ, فَقِيْلَ لِيَ انْظُرْ إِلَى اْلأُفُقِ اْلآخَرِ, فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ, فَقِيْلَ لِيْ هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ, ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِيْ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ, فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْنَ صَحِبُوْا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, وَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِيْنَ وُلِدُوْا فِي اْلإِسْلاَمِ وَلَمْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ وَذَكَرُوْا أَشْيَاءً, فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَقَالَ: مَا الَّذِيْ تَخُوْضُوْنَ فِيْهِ؟ فَأَخْبَرُوْهُ, فَقَالَ:ُ هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ, فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُمْ, فَقَالَ: أَنْتَ مِنْهُمْ, ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِيْ مِنْهُمْ, فَقَالَ: سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ "Umat-umat telah diperlihatkan kepadaku; aku melihat seorang nabi dan bersamanya sekelompok kecil pengikutnya; seorang nabi lagi bersama satu-dua orang (dari kalangan pengikutnya), dan seorang nabi lagi yang tak ada seorangpun bersamanya. Tiba-tiba diangkatkan kepadaku kelompok besar; aku kira bahwa mereka adalah umatku. Lalu disampaikan kepadaku, "Ini adalah Musa -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan kaumnya. Tapi lihatlah ke ufuk!" Lalu aku lihat (ke ufuk), maka tiba-tiba ada sebuah kelompok besar. Kemudian disampaikan kepadaku, "Lihatlah ke ufuk yang lain". Lalu tiba-tiba ada sebuah kelompok besar lagi. Dikatakan kepadaku, "Ini adalah umatmu, bersama mereka ada 70 ribu orang yang akan masuk surga tanpa hisab (perhitungan), dan siksaan". Kemudian Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bangkit dan masuk ke rumahnya. Manusia pun berbincang-bincang tentang orang-orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan siksaan. Ada yang berkata, "Mungkin mereka adalah yang telah menemani Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-". Sebagian lagi berkata, "Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam, dan tidak mempersekutukan Allah (dalam beribadah kepada-Nya)". Lalu mereka menyebutkan beberapa perkara lain. Kemudian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- keluar menemui mereka seraya bersabda, "Apa yang kalian perbincangkan?" Mereka pun mengabarkan hal itu kepada beliau. Beliau bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang tidak ber-tathoyur (merasa sial karena suatu hari atau benda), tidak pernah meminta ruqyah (jampi), dan tidak pula berobat dengan cos (besi panas), dan mereka hanya bertawakkal kepada Robb-nya". Lalu bangkitlah Ukkasah bin Mihshon seraya berkata, "Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk diantara mereka". Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, "Engkau termasuk diantara mereka". Kemudian ada lagi seorang laki-laki yang lain berdiri seraya berkata, "Berdoalah kepada Allah agar Dia menjadikan aku termasuk diantara mereka". Beliau bersabda, "Engkau telah didahului Ukkasayah". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3410, 5705, 5752, 6472, & 6541), dan Muslim dalam Shohih-nya (220)] Perhatikanlah keutamaan yang diraih oleh orang yang bertawakkal secara sempurna kepada Allah; ia akan masuk surga, tanpa hisab dan siksaan. Inilah salah satu bentuk realisasi tauhid. Seorang yang bertauhid akan memurnikan tawakkalnya kepada Allah. Hadits ini memberikan faedah bahwa meminta ruqyah, melakukan tathoyyur, berobat dengan dengan cara kay (cos : besi panas); semua ini adalah perkara-perkara yang mengurangi tawakkal seorang yang melakukannya, karena saat ia melakukan satu diantaranya, maka dalam hatinya akan terdapat semacam kecondongan dan ketergantungan kepada selain Allah, yakni ia yakin kepada orang-orang membantunya melakukan hal-hal itu. Namun bukan berarti bahwa seorang dilarang berobat ke dokter dengan cara medis, selain cara-cara yang disebutkan dalam hadits Ukkasyah di atas, Wallahu a’lam. [Lihat At-Tamhid li Syarh Kitab At-Tauhid (hal. 39-40)] Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy -hafizhahullah- berkata, "(Di dalam hadits ini) terdapat keutamaan tawakkal kepada Allah -Ta’ala- dan bersandar kepadanya dalam mencegah suatu musibah, atau mendatangkan manfaat". [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/153)] Inilah keutamaan besar yang Allah janjikan dan karuniakan kepada orang-orang yang merealisasikan tauhidnya hanya untuk Allah -Azza wa Jalla-. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mendapatkan keutamaan ini sebagaimana halnya sahabat yang mulia, Ukkasyah bin Mihshon Al-Asadiy Al-Badriy -radhiyallahu ‘anhu-. Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 101 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp) http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/keistimewaan-orang-bertauhid.html Diambil dari artikel di website ini.

Senin, 15 Maret 2010

Pembagian Kambing Aqiqah | Layanan Aqiqah


Layanan Aqiqah sebagai penyedia kambing aqiqah terbaik dan termurah ingin bercerita sedikit tentang pembagian daging aqiqah.
Pembagian daging aqiqah dibagikan sebagian kepada fakir miskin sebagai sedekah, juga bisa dibagikan kepada kaum kerabat, tetangga, yang membantu persalinan atau suku bangsa tertentu sebagai hadiah dan juga boleh sebagian untuk dimakan sendiri.
Layanan Aqiqah sebagai penyedia kambing aqiqah terbaik dan termurah ingin memudahkan bagi anda yang ingin melaksanakan aqiqah, qurban, nazar dan berbagai acara resmi lainnya. Berikut keuntungan-keuntungan dan harga murah yang akan anda dapatkan bisa memesan melalui Layanan Aqiqah :
Memudahkan bagi anda yang ingin melaksanakan aqiqah, qurban, Nazar dan berbagai acara resmi lainnya. Serta dapat pula keuntungan lain yang akan anda peroleh:
Memudahkan bagi anda yang ingin melaksanakan aqiqah, qurban, Nazar dan berbagai acara resmi lainnya. Serta dapat pula keuntungan lain yang akan anda peroleh:
  1. GRATIS antar se-Jabotabek 
  2. GRATIS potong dan bungkusin 
  3. GRATIS buku Risalah Aqiqah 50 exemplar/ekor 
  4. Souvenir cantik (terbatas) 
  5. Kambing potong sehat, baik/sesuai syariah 
  6. Menu sesuai keinginan anda (sate, gule. sop, tongseng) 
  7. Siap menyalurkan ke Panti Asuhan dan Yayasan atau Masjid yang membutuhkan 
  8. Pembayaran setelah barang sampai/transfer 
  9. Menerima pemesanan dari luar daerah, juga luar negeri dan siap di salurkan

Hubungi Abu Shafiyyah Denny di 021 - 9565 7099 atau 0857 1057 3821
Atau email ke : denny0809@gmail.com

Pengertian Dari Aqiqah | Layanan Aqiqah

Berikut pengertian dari aqiqah menurut lughah / bahas dan syarah (Agama):

Aqiqah menurut bahasa artinya sembelihan atau pemotongan. Ini arti yang dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal sehingga beliau mengatakan: ” Aqiqah itu (artinya) tidak lain melainkan sembelihan itu sendiri. “

Selain itu ada beberapa arti lagi yang diterangkan oleh para ulama di antaranya, ” Asal arti dari aqiqah itu ialah rambut yang dicukur dari kepala anak yang dilahirkan ” atau ” Kambing yang disembelih dan rambut yang dicukur (habis) mmasing-masingnya dinamakan aqiqah. “

Sedangkan arti aqiqah menurut istilah ialah, ” Menyembelih kambing untuk anak pada hari ketujuh dari hari kelahirannya.”

Jenis Kambing Yang Baik Untuk Aqiqah | Layanan Aqiqah

pertanyaan dari orang-orang yang ingin melaksanakan acara aqiqah perihal jenis kambing yang baik. Berikut informasi jenis kambing, umur dan sifatnya:

1. Jenis kambing ‘aqiqah boleh kambing laki-laki atau kambing perempuan sama saja berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalan Ummu Kurz, “…..tidak mudharat bagi kamu apakah kambing laki-laki atau kambing perempuan.”

2. Tentang umurnya mereka mengkiaskan dengan umur kambing dhahaayaa (kambing korban), yaitu:

- Untuk kambing domba atau biri-biri cukup satu tahun atau kurang sedikit.

- Untuk kambing biasa umurnya cukup dua tahun dan masuk tahun ketiga.

3. Adapun tentang sifatnya mereka pun mengkiaskan dengan dhahaayaa yaitu kambing yang sehat dan bagus bukan kambing yang cacat dan sakit.

Waktu Pelaksanaan Aqiqah

Dianjurkan melaksanakan aqiqah pada hari ke 7 (tujuh) dari kelahirannya, adapun kalau belum bisa, boleh hari ke 14 (empat belas), 21 (dua puluh satu) atau kapan saja ia mampu.

Orang yang mengaqiqahkan anaknya dan ia pandai memotong kambing, disunnahkan untuk menyembelih sendiri sambil membaca:

Dengan nama Allah dan Allah Maha Besar, Ya Allah dari-Mu dan untuk-Mu ini adalah Aqiqahnya ……….bin………. “

Dan disunnahkan memberi nama anak yang baru dilahirkan dengan nama-nama yang baik ini tentunya sesuai dengan harapan kita agar anak tersebut kelak menjadi anak yang baik karena dalam nama itu terkandung do’a dan harapan kita.

Nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah, Abdur Rahman, dll. Juga dibolehkan memakai nama para Nabi, para Rosul serta nama-nama orang sholeh dan hendaknya kita tidak memberi nama-nama yang buruk.

Layanan Aqiqah